
Kendari, 2 Juni 2025 – Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara saat ini berpotensi menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan, habitat endemik seperti anoa, serta ruang hidup masyarakat adat dan petani lokal.
Kisran Makati, Direktur PUSPAHAM Sultra, menegaskan bahwa revisi RTRW yang tengah berlangsung berisiko mempercepat kerusakan ekologis di kawasan-kawasan vital seperti Pegunungan Mekongga, Savana Lawali, Muara Lasolo, dan pulau-pulau kecil seperti Wawonii dan Kabaena. “Wilayah adat dan lahan pertanian rakyat terancam dialihfungsikan menjadi zona konsesi tambang dan industri tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara memadai,” ujarnya.
Sebagai mantan Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tenggara (2014-2018), Kisran juga mengingatkan soal konflik data spasial yang berpotensi dimanfaatkan untuk legalisasi tumpang tindih izin tambang, serta penurunan status kawasan hutan yang mendorong pergeseran fungsi ruang ekologis menjadi pertambangan, perkebunan sawit dan zona industry lainnya.
“Kami menyerukan agar revisi RT RW Sultra mengedepankan keadilan ekologis dan sosial sebagai prioritas utama. Hutan bukan sekadar peta di atas kertas, dan anoa bukan hanya cerita – mereka adalah simbol kehidupan yang wajib kita lindungi bersama,” tegas Kisran.
Selain itu, masalah daerah rawan bencana juga belum menjadi perhatian serius pemerintah. Di Konawe Utara dan Kabaena, banjir yang berulang akibat alih fungsi lahan dan kerusakan hulu sungai semakin mengancam keselamatan masyarakat. Data banjir di Konawe Utara selama Maret-April 2025 menunjukkan pentingnya memasukkan mitigasi risiko bencana dalam RTRW.
Alih fungsi lahan pangan juga terus berlangsung, ribuan hektar sawah berpotensi berubah menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN), yang berisiko menghilangkan beras dan sumber pangan lokal seperti sagu akibat ekspansi industri, termasuk perkebunan sawit.
PUSPAHAM Sultra mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk segera menetapkan kawasan lindung esensial, mengakui dan melindungi wilayah rakyat serta pertanian rakyat, menyelaraskan data spasial antar instansi, memberlakukan moratorium perluasan tambang dan HGU, serta memulihkan ruang hidup melalui reklamasi pasca tambang, termasuk untuk izin yang masih aktif maupun yang telah dicabut.
“Kami berharap rekomendasi ini menjadi pijakan kebijakan dan alat advokasi bagi pemerintah daerah, lembaga terkait, dan masyarakat untuk menjaga keanekaragaman hayati sekaligus menjamin hak-hak masyarakat lokal di Sultra,” pungkas Kisran.***