PUSPAHAM: Duka di Jalan Tambang – Jenazah Warga Terjebak Lumpur, Pemerintah dan Korporasi Dianggap Abai

Mandiodo, Konawe Utara — Malam Jumat, 2 Mei 2025 menjadi momen pilu bagi warga Desa Tapunggaeya, Kecamatan Molawe. Sebuah ambulans yang membawa jenazah dari rumah sakit terjebak berjam-jam di jalur utama Blok Mandiodo. Hujan deras, medan curam, dan lumpur tebal membuat kendaraan tak mampu melaju. Sekitar pukul 22.00 WITA, warga dari Tapunggaeya dan Tapuemea turun tangan, menarik ambulans secara manual agar jenazah dapat sampai ke rumah duka.

Insiden ini kembali menguak luka lama warga yang selama bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang eksploitasi industri tambang. Jalan utama yang dahulu menjadi penghubung antardesa, kini berubah fungsi menjadi jalur hauling tambang. Infrastruktur publik rusak parah — saat hujan, lumpur tebal menjadikan jalan licin dan nyaris tak bisa dilalui; saat kemarau, debu pekat mengepul tanpa henti. Lubang menganga, genangan air, serta tanjakan curam dan licin telah menjadi pemandangan sehari-hari yang membahayakan keselamatan warga.

Setiap musim hujan membawa kecemasan yang sama; anak-anak kesulitan berangkat ke sekolah, warga sakit terhambat menuju layanan kesehatan, dan tak terhitung lagi warga yang tergelincir, terjatuh, bahkan jenazah pun tertahan di tengah jalan. Ketidakadilan ini bukan sekadar soal kerusakan teknis — ini adalah bentuk nyata dari pengabaian hak atas ruang hidup yang aman dan bermartabat.

Jalan ini sejatinya merupakan fasilitas umum milik pemerintah, namun kini berubah total menjadi jalur utama operasional industri tambang. Dalam satu dekade terakhir, seluruh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah ini — termasuk PT Aneka Tambang (Antam), PT Cinta Jaya, dan PT Bumi Konawe Mining (BKM) — menggunakan jalan tersebut untuk mendukung aktivitas operasional mereka, termasuk sebagai lintasan hauling ore nikel. Bahkan, perusahaan lain seperti PT AMI juga memanfaatkan jalan ini untuk mengangkut ore hasil lelang dari PT Antam. Akibatnya, jalan yang dulunya menjadi penghubung antar desa dan akses vital warga kini rusak berat dan dipenuhi tumpukan ore di hampir seluruh badan jalan.

Kondisi ini tidak hanya membahayakan keselamatan warga, tetapi juga telah memaksa relokasi sejumlah fasilitas pendidikan yang berdiri di sepanjang jalur tersebut, demi mengakomodasi kepentingan industri tambang. Namun, hingga kini, tidak ada komitmen nyata dari perusahaan maupun pemerintah untuk memperbaiki kerusakan atau mengembalikan fungsi jalan sebagai fasilitas publik.

“Setiap tahun kami hanya menerima debu, lumpur, dan risiko. Sekolah dipindahkan, ekonomi warga terganggu, dan kini jenazah pun tak bisa lewat,” ujar Hargono, Koordinator Mandiodo Watch, kelompok pemantau warga di lingkar tambang.

Senada dengan itu, PUSPAHAM Sulawesi Tenggara menilai tragedi ini mencerminkan kegagalan tata kelola tambang yang adil dan berkelanjutan. Ketika hak dasar warga — akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur publik — terampas demi kepentingan industri, negara telah lalai dalam menjalankan mandat konstitusionalnya.

Bagaimana kita bisa bicara reklamasi, pemulihan ekosistem, atau ekonomi berkelanjutan jika akses dasar warga saja dikorbankan? Ini bukan sekadar krisis infrastruktur — ini krisis martabat manusia,” tegas Iskandar Wijaya, Koordinator Kajian dan Kampanye PUSPAHAM.

Warga dari Mandiodo, Tapunggaeya, Tapuemea, Mowundo, dan desa-desa lain di Kecamatan Molawe kini bersuara lantang. Mereka menuntut audit menyeluruh terhadap seluruh IUP aktif, pemulihan fungsi jalan umum sebagai hak publik, serta jaminan perlindungan terhadap ruang hidup yang kian tergerus. Ini bukan hanya seruan untuk perbaikan jalan — ini adalah tuntutan keadilan dan pengakuan atas hak hidup yang setara bagi seluruh warga negara.

Share the Post:

Pos Lainnya